Friday, March 29, 2013

GURU; dalam Paradoks



“Real teachers hear the heartbeats of crisis; always have time to listen, know they teach students, not subjects, and they are absolutely nonexpendable”

GURU... jika dulu saya ditanya mau jadi apa saya jika sudah besar saya selalu menjawab: “hemmm..aku mau jadi dokter, biar bisa sembuhin orang sakit”. Namun, cita-cita memang bukanlah hal yang sudah pasti diraih. Karena hati ini secara tiba-tiba tanpa disangka mematutkan diri, membangun jiwa menjadi seorang GURU. A Doctor wanna be turn into a teacher.

Sejak saat pertama saya terjun di dunia pendidikan, saya menjumpai amat banyak WoW things..incredile, awosome, miserable atau boleh dikatakan paradoks. Awalnya mungkin saya termasuk orang yang berpikir; menjadi seorang guru adalah hal yang santai, nyaman, dan aman. Tapi semua gambaran tersebut hilang, seperti awan yang ditiup angin. Faktanya, menjadi seorang guru tidaklah semudah yang dibayangkan.

Amat banyak fakta yang mulai saya lihat, menggambarkan bahwa guru bukanlah profesi main-main. It’s a noble profession! It’s a kind of complicated jobs! Bukan hal main-main jika ada seorang anak manusia ingin menjadi seorang guru. Mungkin awalnya mereka akan menganggap mudah, tapi sejalannya waktu, semua itu kelak akan merubah dia.

Guru adalah sebuah profesi pengusung kemajuan, pembangkit martabat, dan peruntuh ketidakadilan..inilah profesi yang sangat membutuhkan orang-orang berpotensi tinggi dan memiliki militansi kokoh. Inilah profesi yang butuh hati nurani dan kecerdasan akal mumpuni.

Ya, memang banyak saya menemukan guru yang hanya sekedar datang mengajar dan pulang. Ini mungkin paradoks pertama. Tugas guru sejatinya bukanlah hanya mengajar, tapi mereka mampu membangun pola pikir dan pola jiwa dalam diri setiap anak didiknya. Mereka harus mampu mendidik, membimbing dan menuntun anak didiknya agar mampu bersaing dan tumbuh di dunia dewasa mereka. Jika hanya sekedar mengajar alangkah mudahnya tugas ini, tapi bagaimana jeritan hati anak didik yang sedang dilanda masalah, bagaimana tatapan penuh harap, bagaimana inginnya mereka untuk didengarkan.

Inilah paradoks yang kedua. Guru mengajar manusia, bukan mengajar mata pelajaran. Kebanyakan guru memang hanya berpikir kalo dia mendapat tugas, hanya untuk mengajarkan mata pelajaran, bukan mengajar manusia. Sejatinya GURU adalah GURU para MANUSIA; yang punya perasaan, kecerdasan yang disanggah tulang dan dibalut daging serta kulit. Human is not simple, but complicated to understand. Ketika guru berpikir dirinya mengajar MANUSIA maka, tugas pertamanya adalah bagaimana memahami murid-muridnya sebagaimana mereka memamahi dirinya sendiri; yang sakit ketika dihina, yang marah ketika dibohongi dan yang semangat ketika didukung.

Guru memang orang yang sederhana, yang tidak punya harta yang melimpah sebagaimana para direktur eksekutif. Karena semua kekayaannya adalah anak didiknya. Anak didik yang mampu menjadi orang-orang besar penebar kebaikan, anak didik yang berubah menjadi paham sejak disentuh tangan-tangan kepedulian guru-gurunya, anak didik yang sudah mampu mengeja namanya sendiri sejak dituntun membaca oleh sang guru. Begitulah sosok guru, dia sederhana dan bersahaja karena memang dunia pendidikan tidak menjanjikan banyak hal baginya. Kesejahteraan dan kemakmuran serasa enggan menghampirinya, namun dibalik setiap kesederhanaanya itu dia mampu menjadi sebuah pelita yang akan terus menyala selama Pencipta-Nya masih menghendakinya hidup. Inilah paradoks ketiga.

Entah apakah semua paradoks tersebut memang sebuah fakta yang tak dapat dirubah? Tapi saya percaya sebuah ungkapan “guru harus mampu menjadi guru dimana pun mereka berada, detak jantungnya seirama detak jantung murid-muridnya, katannya seindah kata pemberi semangat peruntuh asa, geraknya adalah cerminan pengorbanan ikhlas, dan ketidakmampuaanya adalah sinergisitas dirinya dengan teman dan murid-muridnya”.

No comments: